Bantentv.com – Seba Baduy 2025 telah usai, masyarakat Baduy dari tiga kampung tangtu, yakni Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik, beserta lima kampung panamping, telah kembali ke tanah asalnya setelah menyelesaikan seluruh rangkaian upacara adat Tradisi Seba Baduy.
Sebelum meninggalkan Gedung Negara Provinsi Banten yang terletak di Jalan Brigjen KH Syam’un, Kota Serang, Gubernur Banten Andra Soni, yang dikenal dengan sebutan Bapak Gede, mengadakan kegiatan Mumuluk Bareng (sarapan pagi bersama) dengan masyarakat Baduy pada Minggu, 4 Mei 2025.
Kegiatan Mumuluk Bareng ini merupakan momen perdana sepanjang sejarah pelaksanaan Seba Baduy.
Tradisi baru ini menjadi simbol kebersamaan dan kedekatan antara pemimpin daerah dan masyarakat Baduy.
Setelah sarapan bersama, Gubernur Andra Soni bersama istrinya, Tinawati Andra Soni, secara resmi melepas kepulangan rombongan masyarakat Baduy dari Gerbang Gedung Negara Provinsi Banten.
Mereka melanjutkan perjalanan untuk mengikuti Seba Panungtung di Pendopo Kabupaten Serang, yang menjadi rangkaian akhir dari Seba Baduy.
Baca juga: Tradisi Seba, Warga Baduy Jalan Kaki 50 Kilometer
Puncak Acara Tradisi Seba Baduy 2025

Rangkaian acara Seba Baduy mencapai puncaknya pada Sabtu malam, 3 Mei 2025. Sekitar pukul 14.00 WIB, warga Baduy tiba dan disambut langsung oleh Gubernur Banten, Andra Soni, didampingi Wakil Bupati Lebak, Amir Hamzah.
Puncak prosesi digelar sekitar pukul 19.00 WIB, diawali dengan ritual penyerahan simbolis hasil panen, diiringi doa-doa adat.
Selanjutnya, diadakan dialog terbuka antara warga Baduy dan jajaran Pemerintah Provinsi Banten.
Salah satu pesan utama yang selalu disampaikan dalam tradisi Seba adalah komitmen masyarakat Baduy dalam menjaga kelestarian hutan lindung dan ekosistem sekitarnya agar tidak rusak, karena kerusakan alam dipercaya dapat membawa bencana.
Dalam kesempatan itu, Jaro Pemerintahan Kanekes, Abah Oom, menyampaikan amanat dari para Puun (tetua adat) kepada Gubernur.
Pesannya menekankan pentingnya menjaga kelestarian alam, khususnya gunung dan sungai.
“Gunung-gunung tidak boleh dirusak, dan sungai-sungai tidak boleh dikotori,” tegas Abah Oom.
Ia juga menegaskan bahwa penyerahan hasil alam kepada pemerintah bukan bentuk upeti, melainkan wujud ketaatan terhadap pemerintah yang sah serta bentuk silaturahmi yang diwariskan leluhur.
“Apa yang kami berikan bukanlah upeti, melainkan simbol ketaatan dan bentuk silaturahmi dengan pemerintah,” lanjutnya.
Menanggapi hal tersebut, Gubernur Andra Soni menyampaikan apresiasinya terhadap masyarakat Baduy yang mampu mempertahankan adat istiadat dan menjaga kelestarian lingkungan.
“Kehidupan warga Baduy memberikan inspirasi besar bagi kita semua dalam menjaga alam dan memegang teguh nilai-nilai adat,” ujarnya.
Makna dan Sejarah

Seba Baduy merupakan tradisi tahunan masyarakat Suku Baduy untuk mengungkapkan rasa syukur atas hasil panen yang berlimpah.
Tradisi ini sekaligus menjadi ajang silaturahmi antara masyarakat Baduy dan pemerintah, baik di tingkat Kabupaten Lebak maupun Provinsi Banten.
Tradisi ini telah berlangsung selama ratusan tahun sejak masa Kesultanan Banten, dan hingga kini tetap lestari sebagai simbol kesetiaan serta ketaatan masyarakat Baduy terhadap pemerintah yang sah.
Dalam prosesi Seba, masyarakat Baduy berjalan kaki sejauh sekitar 83 km menuju pusat pemerintahan untuk menyerahkan hasil panen secara simbolis.
Proses diawali dengan laporan dari ketua adat kepada Bapak Gede mengenai kondisi warga, panen, lingkungan, dan kesehatan.
Setelah laporan disampaikan dalam sesi yang disebut Tatabean, dilakukan dialog terbuka antara warga dan pemerintah.
Pemerintah kemudian menanggapi laporan tersebut, sebelum prosesi ditutup dengan penyerahan hasil panen dan pemberian bingkisan sebagai balasan simbolis.
Hingga kini, meskipun zaman terus berubah, tradisi Seba tetap kuat. Ia menjadi bukti nyata bahwa kearifan lokal masyarakat Baduy tetap hidup dan relevan di era modern.