Sabtu, Desember 6, 2025
BerandaGaya HidupKesehatanPenyakit Paru dan Pernapasan saat Ibadah Haji: Kenali, Cegah, dan Obati

Penyakit Paru dan Pernapasan saat Ibadah Haji: Kenali, Cegah, dan Obati

Saluran WhatsApp

Bantentv.com – Ibadah haji dan umrah merupakan momen spiritual yang dinanti umat Muslim di seluruh dunia. Namun, kegiatan ini juga membawa tantangan kesehatan, terutama terkait penyakit paru dan pernapasan.

Kita ketahui setiap tahunnya jutaan umat Muslim berkumpul di tanah suci, Mekah, untuk melaksanakan rangkaian ibadah yang sakral. Namun, perjalanan Haji bukanlah hal yang mudah, terutama dari segi kesehatan.

Kondisi lingkungan Arab Saudi yang ekstrem, kepadatan jutaan jemaah dari berbagai negara, serta aktifitas fisik intens selama ritual ibadah meningkatkan risiko gangguan pernapasan.

Artikel ini akan mengulas pentingnya vaksinasi, penyakit paru dan pernapasan yang sering terjadi, serta langkah pencegahan dan pemeriksaan kesehatan sebelum berangkat.

Berikut penjabaran oleh dokter spesialis paru di Rumah Sakit sari Asih Serang, dr. Yandi, SpP:

Vaksin Haji

Vaksin bekerja dengan cara merangsang sistem kekebalan tubuh untuk mengenali dan melawan patogen seperti virus atau bakteri. Ketika vaksin masuk ke tubuh, sistem imun akan membentuk antibodi spesifik dan “memori imunologis”.

Ada dua jenis respons imun yang terbentuk: respons humoral melalui antibodi dari sel B untuk menetralisir patogen, dan respons seluler melalui sel T yang menghancurkan sel terinfeksi. Dengan vaksinasi, tubuh akan lebih siap melawan infeksi sungguhan di kemudian hari.

Berdasarkan panduan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dan Kementerian Kesehatan Arab Saudi, terdapat beberapa vaksin yang direkomendasikan untuk jemaah haji. Vaksin wajib meliputi meningitis (ACYW135) untuk mencegah radang selaput otak, polio untuk mencegah penularan virus polio, dan COVID-19 untuk mencegah infeksi SARS-CoV-2. Sedangkan vaksin anjuran antara lain influenza untuk mencegah ISPA, pneumokokus (PCV13/PPSV23) untuk mencegah pneumonia bakteri, RSV untuk lansia dan penderita penyakit paru kronis, serta Tdap untuk mencegah tetanus, difteri, dan pertusis.

Penyakit Paru dan Pernapasan saat Haji

Data dari Sistem Komputerisasi Haji Terpadu Kesehatan (SISKOHATKES) menunjukkan penyakit paru dan pernapasan menempati urutan tertinggi pada jemaah haji. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) menjadi yang paling sering terjadi, disebabkan oleh virus seperti influenza atau rhinovirus.

Jemaah haji sering mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang terbagi menjadi dua jenis. ISPA atas seperti common cold dan faringitis ditandai dengan pilek, hidung tersumbat, sakit tenggorokan, batuk ringan, dan demam ringan.

Sedangkan ISPA bawah termasuk bronkitis akut dan pneumonia menunjukkan gejala lebih berat seperti batuk berdahak kuning/hijau, sesak napas, nyeri dada saat bernapas, dan demam tinggi melebihi 38°C. Faktor risiko utamanya meliputi usia di atas 60 tahun, penyakit penyerta seperti diabetes atau jantung, serta kondisi kerumunan jemaah yang padat. Data menunjukkan lebih dari separuh jemaah haji mengalami ISPA, dengan catatan 150.000 kasus pada musim haji 2024, menjadikannya masalah kesehatan paling dominan selama pelaksanaan ibadah.

Pneumonia menjadi ancaman serius bagi jemaah haji, terutama yang berusia lanjut. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri seperti Klebsiella pneumoniae dan Streptococcus pneumoniae, atau virus seperti influenza dan COVID-19. Gejala khasnya meliputi batuk berdahak purulen, demam tinggi disertai menggigil, sesak napas dengan frekuensi >30x/menit, nyeri dada tajam saat bernapas, dan saturasi oksigen <90% pada kasus berat. Komplikasi pneumonia seperti sepsis, gagal napas, dan ARDS menjadi penyebab utama kematian jemaah haji tahun 2024.

Kondisi ini sering kambuh saat haji akibat pemicu seperti debu, polusi udara, aktivitas berat, dan perubahan cuaca ekstrem. Pada asma eksaserbasi, jemaah mengalami mengi, sesak napas berat hingga sulit bicara, penggunaan otot bantu napas, dan penurunan arus puncak ekspirasi >20%. Sedangkan PPOK eksaserbasi ditandai dengan sesak yang memburuk, produksi sputum meningkat dengan perubahan warna, napas bibir mengerucut, dan ditemukannya ronki basah saat pemeriksaan.

Risiko emboli paru meningkat akibat duduk lama >10 jam selama penerbangan yang memicu trombosis vena dalam. Gejalanya muncul mendadak berupa sesak napas, nyeri dada saat menarik napas, batuk darah, serta hipotensi pada kasus berat. Diagnosis dilakukan dengan skor Wells, pemeriksaan D-dimer, dan CT angiografi untuk konfirmasi.

Baca Juga: Waspada Komplikasi Jamur Pasca-TB: Diagnosis Sulit, Obat Mahal, dan Gejala yang Sering Diabaikan

Pencegahan

Berdasarkan Panduan PDPI 2025, pencegahan penyakit pernapasan saat haji memerlukan pendekatan komprehensif yang mencakup berbagai aspek. Langkah pertama dan paling penting adalah vaksinasi yang harus diselesaikan minimal 4 minggu sebelum keberangkatan. Vaksinasi wajib meliputi meningitis quadrivalent (ACYW135) dengan sertifikat berlaku 3 tahun, Selain itu, vaksinasi anjuran seperti influenza tetravalen, pneumokokus (PCV13 dan PPSV23), serta RSV beradjuvan sangat direkomendasikan khususnya untuk lansia di atas 60 tahun dan penderita PPOK.

Perlindungan diri selama di lokasi ibadah merupakan faktor krusial kedua. PDPI menekankan pentingnya penggunaan masker medis/N95 yang diganti secara rutin setiap 4 jam, terutama di area padat seperti Arafah dan Masjidil Haram. Jemaah dengan riwayat asma atau PPOK disarankan membawa inhaler cadangan dan obat-obatan rutin dalam jumlah cukup. Selama penerbangan panjang, senam peregangan setiap 2 jam sangat dianjurkan untuk mencegah trombosis vena dalam yang dapat menyebabkan emboli paru.

Proses pemeriksaan kesehatan berjenjang sebelum keberangkatan merupakan benteng pertahanan berikutnya. Tahap pertama dilakukan 6-12 bulan sebelumnya meliputi pemeriksaan fisik lengkap, skrining komorbid, dan radiologi toraks. Tahap kedua 3 bulan sebelum berangkat mencakup penilaian istithaah kesehatan, tes fungsi paru, dan uji toleransi aktivitas.

Tahap terakhir 1 bulan sebelumnya berupa evaluasi akhir kelayakan terbang dan konsultasi spesialis untuk kasus risiko tinggi. Selama pelaksanaan ibadah, manajemen kesehatan yang ketat perlu diterapkan. Pemantauan saturasi oksigen harian menggunakan pulse oximeter, penyediaan oksigen portabel untuk penderita PPOK berat, serta sistem rujukan berjenjang yang efektif dari kloter ke KKHI dan RS Arab Saudi menjadi komponen vital. Pembagian obat rutin dalam kemasan khusus yang tahan panas juga perlu diperhatikan.

Program edukasi kesehatan pra-keberangkatan menjadi pilar pencegahan yang tak kalah penting. Materi edukasi mencakup pelatihan teknik pernapasan diafragma, simulasi aktivitas ibadah dengan beban, pemahaman tanda-tanda gawat darurat pernapasan, serta pembekalan bahasa Arab medis dasar. Implementasi menyeluruh rekomendasi PDPI ini terbukti dapat menekan angka kejadian penyakit pernapasan hingga 70%, dengan risiko rawat inap 3 kali lebih rendah pada jemaah yang patuh terhadap seluruh protokol pencegahan.

Lilik HN

TERKAIT
- Advertisment -