Kamis, Oktober 2, 2025
BerandaFeaturedUlasanMengenal Sosok Pahlawan Revolusi Dalam G30S/PKI

Mengenal Sosok Pahlawan Revolusi Dalam G30S/PKI

Saluran WhatsApp

Bantentv.com Setiap tahunnya di tanggal 30 September, Indonesia memperingati sebagai hari untuk mengenang tragedi G30S/PKI.

Gerakan ini terjadi pada malam pergantian tanggal 30 September ke 1 Oktober 1965, dan dilakukan oleh Pasukan Cakrabirawa yang dipimpin Letnan Kolonel Untung Syamsuri dengan dukungan DN Aidit sebagai pimpinan PKI. Tujuannya, untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno serta mengubah Indonesia menjadi negara komunis. 

Akibat dari gerakan ini, tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa korban lainnya diculik dan dibunuh kejam, termasuk Jenderal Ahmad Yani, yang kesemuanya dikenal sebagai Pahlawan Revolusi. 

Mengenal arti Pahlawan Revolusi

Pahlawan Revolusi adalah bentuk gelar kehormatan yang diberikan pemerintah kepada tokoh yang berjasa bagi Indonesia.

Dikutip dari laman resmi Direktorat Sekolah Menengah Pertama, tujuan dari G30S PKI adalah untuk mengubah ideologi bangsa Indonesia.

Baca Juga: Mengenang Peristiwa Pemberontakan G30S/PKI

Peristiwa tersebut bahkan memakan sejumlah korban dari para petinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat AD dan beberapa korban lainnya.

Berkat perjuangannya itu, tokoh yang menjadi korban kemudian ditetapkan sebagai pahlawan revolusi melalui beberapa keputusan presiden tahun 1965.

Lantas, seperti apa sosok mereka? Simak profil singkatnya berikut ini:

Tokoh Pahlawan Revolusi

Dihimpun dari Ensiklopedi Pahlawan Nasional Subdirektorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan (1995), berikut tokoh Pahlawan Revolusi.

Jenderal Ahmad Yani

Jenderal Ahmad Yani adalah seorang petinggi TNI AD di masa Orde Lama yang lahir pada 19 Juni 1922. Ahmad Yani mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.

Kemudian ia melanjutkan kariernya di militer. Selain itu Ahmad Yani juga turut dalam pemberantasan PKI Madiun 1948, Agresi Militer Belanda II, dan penumpasan DI/TII di Jawa Tengah.

Pada 1958, Ahmad Yani diangkat sebagai Komandan Komando Operasi 17 Agustus di Padang Sumatra Barat untuk menumpas pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) 1962.

Hingga pada 1 Oktober 1965, Ahmad Yani tewas saat pemberontakan G30S.

Letjen Suprapto

Lahir di Purwokerto pada 20 Juni 1920. Suprapto sempat mengikuti pendidikan di Akademi Militer Kerajaan Bandung, namun terhenti karena pendaratan Jepang di Indonesia.

Di awal kemerdekaan Indonesia, Suprapto aktif dalam usaha merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Kemudian ia masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Purwokerto dan ikut dalam pertempuran di Ambarawa sebagai ajudan Panglima Besar Sudirman.

Kariernya di militer terus melejit, tapi saat PKI mengajukan pembentukan angkatan perang kelima, Suprapto menolaknya.

Suprapto pun turut menjadi korban pemberontakan G30S bersama para petinggi TNI AD lainnya. Jasadnya ditemukan di Lubang Buaya, lalu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Letjen S. Parman

Siswondo Parman atau S. Parman merupakan salah satu petinggi TNI AD di masa Orde Lama. Ia dilahirkan di Wonosobo, Jawa Tengah, 4 Agusus 1918.

Letjen S. Parman menempuh pendidikan di bidang intelijen. Ia pernah dikirim ke Jepang untuk memperdalam ilmu intelijennya pada Kenpei Kasya Butai.

Kemudian, setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia pun mengabdi kepada Indonesia untuk memperkuat militer Tanah Air. Pada 1 Oktober 1965, ia diculik dan dibunuh bersama para jenderal lainnya dan gugur.

Letjen M.T. Haryono

Mas Tirtodarmo Haryono atau dikenal dengan sebutan M. T. Haryono, lahir pada 20 Januari 1924 di Surabaya, Jawa Timur.

Sebelum terjun ke dunia militer, M. T. Haryono pernah mengikuti Ika Dai Gaku (sekolah kedokteran) di Jakarta pada masa pendudukan Jepang. Kemudian, setelah Indonesia merdeka, M. T. Haryono pun bergabung bersama TKR dengan pangkat mayor.

Lalu, ia menjadi Atase Militer RI untuk Negeri Belanda (1950) dan menjadi Direktur Intendans dan Deputy Ill Menteri/Panglima Angkatan Darat (1964).

Pada 1965 M. T. Haryono pun turut gugur bersamaan dengan para petinggi TNI AD lain akibat pemberontakan G30S tersebut.

Mayjen D.I. Pandjaitan

Donald Ignatius Pandjaitan atau D. I. Pandjaitan lahir pada 9 Juni 1925 di Balige, Tapanuli. Lalu, di masa pendudukan Jepang ia mengikuti pendidikan militer Gyugun dan ditempatkan di Pekanbaru, Riau sampai saat proklamasi kemerdekaan.

Setelah Indonesia merdeka, D. I. Pandjaitan pun ikut membentuk TKR. Saat itulah, kariernya di bidang militer semakin cemerlang.

Berkat prestasinya itu, beliau diangkat sebagai Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat dan mendapat tugas belajar ke Amerika Serikat.

Mayjen D.I. Pandjaitan pun turut gugur dan menjadi korban dalam peristiwa pemberontakan PKI 1965 bersama dengan para jenderal lainnya.

Mayjen Sutoyo Siswomiharjo

Sutoyo Siswomiharjo lahir 28 Agustus tahun 1922 di Kebumen, Jawa Tengah. Pada masa pendudukan Jepang, ia mendapat pendidikan pada Balai Pendidikan Pegawai Tinggi di Jakarta, dan kemudian menjadi pegawai negeri pada Kantor Kabupaten di Purworejo.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan ia pun memasuki TKR bagian Kepolisian, lalu menjadi anggota Korps Polisi Militer. Sutoyo pun akhirnya diangkat menjadi ajudan Kolonel Gatot Subroto dan kemudian menjadi Kepala Bagian Organisasi Resimen II Polisi Tentara di Purworejo.

Setelah itu, pada 1961 ia diberi tugas sebagai Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat. Akan tetapi, Sutoyo yang menentang pembentukan angkatan kelima, justru turut gugur dalam peristiwa G30S.

Brigjen Katamso

Brigjen Katamso lahir 5 Februari 1923 di Sragen, Jawa Tengah. Pada masa pendudukan Jepang ia mengikuti pendidikan militer pada PETA di Bogor. Setelah Proklamasi Kemerdekaan ia masuk TKR yang kemudian menjadi TNI.

Pada 1958, Katamso dikirim ke Sumatra Barat untuk menumpas pemberontakan PRRl sebagai Komandan Batalyon A Komando Operasi 17 Agustus. Setelah itu menjadi Kepala Staf Resimen Team Pertempuran (RIP) II Diponegoro di Bukittinggi.

Katamso pun gugur karena diculik dan dibunuh dalam peristiwa G30S PKI. Mayatnya kemudian ditemukan 22 Oktober 1965, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

Kapten Pierre Tendean

Pierre Tendean lahir 21 Februari 1939 di Jakarta. Pierre Tendean menempuh pendidikan di Akademi Militer Jurusan Teknik, dan selesai pendidikan di tahun 1962. Ia pun kemudian menjabat sebagai Komandan Peleton Batalyon Zeni Tempur 2 Komando Daerah Militer II/Bukit Barisan di Medan.

Pada April 1965, Pierre Tendean diangkat sebagai ajudan Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/ Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Nasution.

Ketika bertugas, Pierre Tendean tertangkap oleh kelompok G30S. Saat itu ditangkap, Pierre Tendean mengaku sebagai A. H. Nasution di mana sang jenderal berhasil melarikan diri. Akan tetapi, dirinya harus mengorbankan nyawa untuk melindungi Jenderal Nasution.

A.I.P. II K. S. Tubun

Karel Satsuit Tubun dilahirkan di Tual, Maluku Tenggara pada 14 Oktober 1928. Tamat dari Sekolah Polisi Negara di Ambon ia diangkat sebagai Agen Polisi Tingkat II dan mendapat tugas dalam kesatuan Brigade Mobil (Brimob) di Ambon.

Kemudian ia ditempatkan pada kesatuan Brimob Dinas Kepolisian Negara di Jakarta. Lalu, tahun 1955 ia dipindahkan ke Medan Sumatra Utara dan tahun 1958 dipindahkan kembali ke Sulawesi.

Saat pemberontakan G30S, K.S Tubun termasuk salah seorang korban pemberontakan tersebut. Tubun ditembak hingga gugur. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Kolonel Sugiyono

Sugiyono lahir pada 12 Agustus 1926 di Desa Gendaran, daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. Pada masa pendudukan Jepang Sugiyono mendapat pendidikan militer pada Pembela Tanah Air (PETA).

Ia pun diangkat menjadi Budanco di Wonosari. Kariernya pun terus berkecimpung di dunia militer, hingga mengikuti beberapa penumpasan pemberontakan di Tanah Air.

Pada 1 Oktober 1965 Sugiyono yang baru saja kembali dari Pekalongan, ditangkap di Markas Korem 072 yang telah dikuasai gerombolan PKI.

la pun menjadi korban PKI berikutnya yang dibunuh di Kentungan di sebelah Utara Yogyakarta dan jenazahnya ditemukan pada 22 Oktober 1965, kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

Meskipun jasadnya telah tiada, namun semangat perjuangan dan pengorbanannya yang sangat besar terhadap bangsa Indonesia masih tetap terjaga, dan menjadi pelajaran berharga untuk generasi penerus sebagai teladan tentang semangat dan cinta tanah air.

Editor : Erina Faiha

TERKAIT
- Advertisment -