Bantentv.com – Di sebuah sudut Kota Tebing Tinggi, Sumatra Utara, aroma serabi hangat pernah menjadi saksi sebuah impian yang tak pernah padam. Namanya Marni binti Poksum. Usianya kini menginjak 68 tahun, namun semangatnya seolah tak mengenal tua.
Di antara kesederhanaan hidup dan kepulan asap dari tungku dapurnya, selama bertahun-tahun ia memelihara satu harapan besar, berangkat ke Tanah Suci.
Tak ada kisah mewah di balik perjuangannya. Ia bukan pensiunan dengan tabungan besar, bukan pula pengusaha sukses. Ia hanya seorang nenek penjual serabi yang dengan setia menjalani rutinitas berjualan sejak tahun 2002.
Sebelumnya, ia juga pernah berjualan mie sop dan lemang, yang ia antar sendiri ke pasar hampir setiap hari. Dari hasil itulah, ia mulai menabung. Sedikit demi sedikit, uang disisihkan. Tidak besar, tapi cukup untuk terus menjaga nyala harapan. “Anak-anak juga bantu,” katanya pelan, mengingat masa-masa itu.
Baca juga: Kisah Inspiratif, Tukang Pijat Naik Haji
Pada tahun 2012, ia resmi mendaftar haji bersama putranya, Agus Suhendra. Sejak saat itu, waktu berjalan lambat. Setiap tahun, ia menunggu.
Tahun lalu, harapannya sempat menyala ketika namanya hampir masuk dalam daftar keberangkatan. Tapi takdir berkata lain. Ia harus menunggu satu tahun lagi.
“Belum rezeki,” ucapnya pasrah saat diwawancarai di Asrama Haji Medan. “Nenek cuma bisa bilang, insyaAllah tahun depan, kalau umur panjang.”
Dan ternyata, harapan itu tidak sia-sia. Setelah dua belas tahun menanti, tahun ini Nek Marni akhirnya akan menunaikan ibadah haji. Ia tergabung dalam Kloter 16 Embarkasi Medan bersama 116 jemaah dari Tebing Tinggi. Pada 20 Mei 2025 pagi, ia tiba di Asrama Haji. Lalu, malam keesokan harinya, ia berangkat ke Jeddah.
Namun, jalan menuju Baitullah tidak mudah. Sekitar tujuh bulan lalu, ia terjatuh. Kakinya melemah, tubuh renta itu tak lagi sekuat dulu.
Ia pun berhenti berjualan serabi, dan sempat khawatir tidak bisa menjalani puasa dan ibadah haji. Tiga hari menjelang Ramadan, ia memanjatkan doa penuh harap.
“Ya Allah, sebentar lagi puasa. Izinkan aku puasa, tarawih, dan sehatkan tubuhku,” kenangnya sambil menyeka air mata.
Ia juga ingin ziarah ke makam ibunya sebelum berangkat haji. Doa itu pun terkabul. Perlahan, kesehatannya membaik. Ia bisa kembali berjalan. Bisa kembali berharap.
Sejak ditinggal suaminya pada 2018, Nek Marni hanya bersandar pada semangat lima anak dan tiga belas cucunya. Mereka adalah saksi hidup perjuangan tanpa henti seorang nenek yang tak pernah menyerah.
Apakah pernah terpikir membatalkan niat haji karena lamanya masa tunggu? “Tidak pernah,” dengan nada mantap. Meski sempat diajak umrah saja, ia menolak. “Haji itu kewajiban. Saya mau tunaikan itu, bagaimanapun caranya.”
Sebelum berangkat, ia sempat berpesan, terutama bagi mereka yang masih ragu untuk mendaftar haji. “Kalau sudah ada niat, daftar dulu. Jangan tunggu mampu. Allah yang akan cukupkan.”
Kisah Nek Marni adalah pengingat bahwa jalan ke Baitullah tidak selalu dimulai dari kelimpahan. Terkadang, ia dimulai dari tungku dapur yang sederhana, dari piring-piring serabi yang terjual, dan dari doa yang tak pernah putus.
Ia adalah bukti bahwa kesungguhan dan keteguhan hati bisa menembus keterbatasan. Sebab Allah selalu punya cara untuk memuliakan mereka yang sabar dalam ikhtiar.
Sumber:
Artikel ini diadaptasi dari tulisan yang telah dipublikasikan oleh Kementerian Agama RI melalui situs resminya (kemenag.go.id), 21 Mei 2025.