Sabtu, Oktober 4, 2025
BerandaOpiniKontroversi Penggunaan Sirine Pejabat, Antara Kebutuhan Atau Privillage?

Kontroversi Penggunaan Sirine Pejabat, Antara Kebutuhan Atau Privillage?

Saluran WhatsApp

Bantentv.com – Penggunaan sirine oleh kendaraan pejabat negara kembali memicu kontroversi di ruang publik. Fenomena ini bukan hal baru, namun terus berulang tanpa penyelesaian yang jelas.

Di satu sisi, sirine dianggap sebagai alat pendukung kelancaran tugas negara. Namun, di sisi lain penggunaannya yang kerap tak proporsional sehingga memunculkan kesan adanya privillage kekuasaan yang mengabaikan etika dan rasa keadilan sosial.

Maka, pertanyaan yang muncul adalah, apakah penggunaan sirine oleh pejabat negara benar-benar sebuah kebutuhan, ataukah justru telah menjadi simbol kekuasaan yang disalahgunakan?

Sirine: Antara fungsi dan simbol 

Pada dasarnya, sirine diciptakan sebagai alat peringatan lalu lintas. Ambulans, mobil pemadam kebakaran, hingga kendaraan kepolisian berhak menggunakannya karena menyangkut nyawa orang banyak.

Hal ini jelas diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Namun, dalam praktiknya, pejabat negara juga diberi akses untuk menggunakan sirine dengan alasan bahwa mereka memikul tanggung jawab strategis yang menuntut pergerakan cepat.

Argumentasi ini memang masuk akal, pejabat tidak boleh terjebak macet ketika negara sedang membutuhkan keputusan mendesak. Tetapi faktanya, tidak jarang sirine dipakai hanya untuk menghadiri acara seremonial, peresmian proyek, bahkan kegiatan pribadi.

Kurangnya keteladanan dan penegakan aturan

Masalah utama kekacauan dalam penggunaan sirine oleh pejabat adalah kurangnya keteladanan dari elite pemerintahan sendiri.

Pejabat yang seharusnya menjadi contoh dalam menaati aturan justru sering kali menjadi pelanggar pertama.

Aparat penegal hukum pun sering kali ambigu, tegas pada masyrakat biasa, tetapi lunak ketkika pelanggaran dilakukan kendaraan dinas.

Bahkan sering kali petugas turut menjadi bagian dari pelanggaran itu sendiri dengan memberikan pengawalan tanpa dasar yang kuat.

Ketimpangan dalam penegakan aturan inilah yang memperbesar ketidakpercayaan publik. Masyarakat menjadi apatis terhadap hukum karena melihat bahwa hukum tidak berlaku setara.

Jika ditinjau lebih dalam, akar masalah penggunaan sirine pejabat adalah adanya kebutuhan mobilitas cepat. Di kota besar dengan lalu lintas padat seperti Tangerang, perjalanan pejabat tanpa sirine jelas akan sangat lambat.

Dampak Sosial : Menurunnya kepercayaan dan potensi bahaya yang nyata

Penyalahgunaan sirine oleh pejabat adalah menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Masyarakat yang terbiasa mendengar sirine pejabat bisa jadi abai ketika ada ambulans yang benar-benar membawa pasien kritis.

Ketidakjelasan penggunaan sirine membuat respons masyarakat menjadi tumpul, yang pada akhirnya bisa berujung pada hilangnya nyawa. Penggunaan sirine juga kerap menimbulkan risiko kecelakaan.

Pengemudi yang panik karena suara sirine bisa salah mengambil keputusan di jalan, mulai dari berhenti mendadak hingga menepi secara tidak aman.

Semua ini menunjukkan bahwa penggunaan sirine bukanlah hal sepele  dampaknya bisa sangat luas dan fatal.

Di level social, sirine bahkan berubah menjadi simbol “feodalisme baru”. Ia menadai bahwa adanya kasta di jalan raya, seperti pejabat sebagai kelompok yang berhak mendapat prioritas.

Opini publik yang semakin kritis 

Opini publik terhadap penggunaan sirine pejabat semakin kritis, terutama setelah maraknya unggahan di media sosial yang memperlihatkan iring-iringan pejabat menggunakan sirine tanpa kondisi darurat.

Sebagian masyarakat menilai sirine dibutuhkan agar pejabat dapat bergerak cepat dalam menjalankan tugas penting, seperti meninjau bencana.

Namun, banyak yang melihat hal ini sebagai bentuk privilege, karena sering digunakan bukan untuk kepentingan negara melainkan kenyamanan pribadi.

Sikap skeptis ini mencerminkan krisis kepercayaan yang lebih luas terhadap institusi negara, sekaligus memperkuat kesan adanya kasta sosial, di mana pejabat seolah bisa melanggar aturan yang justru mereka wajib tegakkan.

Sirine sebagai simbol Feodalisme baru 

Penggunaan sirine oleh pejabat dinilai telah berubah menjadi feodalisme baru, yang menegaskan adanya hieararki di jalan raya, ada kelompok yang boleh mendapat prioritas, sementara  kelompok lain seperti rakyat harus mengalah.

Pertanyaan kritis yang muncul adalah, benarkah semua perjalanan pejabat selalu menyangkut kepentingan negara?

Realitanya, banyak iring-iringan dengan sirine digunakan untuk menghadiri acara partai, peresmian proyek, bahkan kegiatan pribadi, sehingga menimbulkan ketdakkonsistenan antara citra sederhana yang dikampanyekan pemerintah dengan praktik sebenarnya.

Namun di sisi lain, mereka tetap mempertahankan kebiasaan yang justru menegaskan jarak sosial. Publik pun melihat ada ketidakkonsistenan antara kata dan perbuatan. 

Fenomena ini memperlebar jarak social antara pejabat dan masyarakat, memicu ketidakpuasan, bahkan berpotensi memperkuat apatisme politik.

Solusi yang ditawarkan adalah regulasi tegas dan kesadaran etika pejabat, agar sirine hanya digunakan pada kondisi darurat kenegaraan, bukan sebagai hak istimewa.

Penutup

Sirine sejatinya adalah tanda bahwa negara bergerak cepat untuk rakyat. Namun tanpa pengaturan yang ketat, sirine berubah menjadi simbol privillage yang melukai rasa keadilan sosial.

Sikap kritis masyarakat terhadap fenomena ini sangat penting. Pejabat tidak boleh berlindung di balik alasan “kepentingan negara” untuk setiap perjalanan.

Mereka harus menunjukkan transparansi, kedisiplinan, dan kesadaran etis agar penggunaan sirine benar-benar sesuai fungsi. 

Pada akhirnya, suara sirine seharusnya menjadi tanda bahwa negara sedang bergerak cepat untuk rakyat.

Bukan alarm yang mengingatkan bahwa pejabat masih menikmati hak istimewa di atas rakyat biasa.

Jika perubahan tidak dilakukan, sirine akan terus dipandang sebagai simbol ketidakadilan sosial di jalan raya sebuah suara bising yang menandai semakin lebarnya jarak antara pemimpin dan yang di pimpin

Sumber:

Radar Kriminal. 2025. Kendaraan pribadi dilarang pakai strobe tanpa izin

BPK Regulations. 2009. UU No.22 Tahun 2009

Artikel ini ditulis oleh Azzahra Ayudia Hadi Azzahra Ayudia Hadi Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

TERKAIT
- Advertisment -