Bantentv.com – Terletak di wilayah paling ujung barat pulau Jawa, Banten, merupakan daerah yang cukup strategis. Di mana Provinsi Banten, memiliki salah satu pelabuhan tersibuk di Indonesia yakni pelabuhan Merak.
Banten juga memiliki bandar udara terbesar dan tersibuk di Indonesia, yaitu Soekarno-Hatta (Soetta). Bahkan pernah menempati urutan ketiga se Asia Tenggara dengan bandara tersibuk tahun 2023. Bandara ini pun dikenal sebagai salah satu bandara internasional terbaik di dunia urutan ke 25 versi skytrax.
Selain itu wisata alam Banten yang luar biasa indah, seperti banyaknya pantai, gunung dan menjadi salah satu habitat badak bercula satu, hewan endemik di Ujung Kulon, kabupaten Pandeglang, serta memiliki suku adat asli yakni Suku Adat Baduy, yang terletak di desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar kabupaten Lebak, yang turut menambah khazanah wilayah ini.
Sejarah Nama Banten dalam Berbagai Versi
Jika dilihat dari namanya, Banten memiliki banyak versi penamaan. Dikutip dari website resmi Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Banten, nama “Banten” berasal dari frasa “katiban inten,” yang jika diartikan dalam bahasa Indonesia berarti “kejatuhan intan.”
Ada pula yang menyebut Banten, dengan penulisan “Bantam” pada tahun 1640, lalu “Bantangh,” dan pada tahun 1641, nama ini ditulis sebagai “Bantham”, yang kesemuanya terjadi pada masa pemerintahan Belanda.
Menurut catatan Hoesein Djajadiningrat, nama-nama ini termasuk Surasaji atau Surosowan. Sebelum Kesultanan Banten berdiri pun, nama “Banten” sudah ada dan disebut sebagai “Wantan”, hingga mengalami perubahan huruf “W” menjadi “B” kemudian menghasilkan kata “Banten”.
Kata “Wantan” sendiri adalah tiang atau sesaka, sementara kata “Banten” memiliki arti sesaji. Selain itu, makna dari kata “Surasaji” adalah Raja Yang Gagah Berani Yang di Ridhoi Allah.
Sementara versi lainnya, yang dikutip dari Buku Banten dan Perjalanan Jurnalistik karya Lukman Hakim (60:2006) yang mengklaim asal-usul nama Banten berasal dari kata “bantahan,” yang memiliki makna suka membantah, melawan, atau memberontak.
Konon, hal ini dikaitkan dengan reputasi masyarakat Banten yang dikenal sebagai kelompok yang seringkali menentang atau memberontak terhadap penjajah.
Asal Usul Banten Ingin Bentuk Provinsi Baru
Sebagai provinsi, wilayah Banten memang jauh lebih kecil dari daerah induknya, Jawa Barat (Jabar) sangat jauh berbeda. Wilayah Jabar seluas 44.354,61 Km2 , terdiri dari 16 kota dan 10 kabupaten. Sedangkan Provinsi Banten memiliki luas hanya 8.651,20 Km2, dan meliputi 4 kota dan 4 kabupaten.
Namun, alasan Banten ingin memisahkan diri dari Jawa Barat bukan karena wilayah Banten yang sempit, akan tetapi karena Banten memiliki sejumlah potensi. Antara lain, letak yang strategis, kondisi alam, dan kekayaan alam yang dimiliki.
Selain itu, latar belakang sejarah kejayaan di masa lalu serta momentum yang ada di Banten juga menjadi faktor penting bagi kemajuan Banten.
Dari banyaknya potensi alam, keragaman budaya yang dimiliki Banten, dan pertimbangan latar belakang sejarah Banten, masyarakat Banten bertekad memisahkan diri dari Jabar dan membentuk provinsi tersendiri.
Baca Juga: HUT ke-25, Pemprov Banten Mantapkan Komitmen Keterbukaan Informasi Publik
Kejayaan Masa Lalu
Dikutip dari laman resmi provinsi Banten, seperti provinsi-provinsi di Pulau Jawa, terbentuknya Provinsi Banten tak terlepas dari pengaruh latar belakang sejarah. Khususnya pada masa kejayaan yang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu, kejayaan masa kerajaan dan kemajuan atau proses perjuangan pada masa kolonial.
Secara historis, Kesultanan Banten pernah mengalami puncak kejayaan, terutama pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1631-1692).
Tidak hanya menjadi pusat penyebaran agama Islam, Banten memiliki pelabuhan Banten yang dikenal sebagai pusat perdagangan internasional termashur.
Bukti-bukti kejayaan Kesultanan Banten pun bisa ditelusuri melalui beberapa literatur dan bukti fisik sisa-sisa peninggalannya seperti situs bangunan keraton Surosowan Kesultanan Banten, benda-benda peninggalan yang tersimpan di Museum Kepurbakalaan Banten, dan Masjid Agung Banten, semua berada di kawasan Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang.
Sebagai daerah penting, Banten pada masa pemerintahan Hindia Belanda, setelah VOC dibubarkan, di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Herman Williem Daendels (1808-1811), dibangun pangkalan armada laut yang terletak di Anyer dan Ujung Kulon.
Kemudian, oleh Daendels, wilayah Anyer juga dijadikan titik nol proyek monumental pembangunan jalan raya trans Jawa hingga ke Panarukan Jawa Timur. Hingga saat ini, peninggalan berupa mercusuar, menara pemantau kapal-kapal laut di Anyer masih berdiri kokoh.
Kejayaan masa lalu Banten tidak sekadar menjadi kenangan. Warisan berupa nilai-nilai agama maupun budaya, baik peninggalan berupa fisik maupun data-data yang ada, dapat berfungsi sebagai bahan kajian ilmiah dan sarana wisata. Hal inilah yang menjadi pijakan bagi pembangunan Provinsi Banten.
Menjadi Provinsi Baru
Desakan masyarakat dari berbagai pihak untuk menjadikan Banten sebagai provinsi semakin kuat, dengan datangnya puluhan ribu masyarakat Banten ke Gedung DPR RI di Senayan Jakarta, dan melakukan Sidang Paripurna DPR untuk pengesahan RUU Provinsi Banten.
Usaha mereka pun tidak sia-sia, hingga Banten akhirnya berhasil menjadi provinsi pada tanggal 4 Oktober 2000 dan ditetapkan sebagai Hari Jadi provinsi Banten. Secara tertulis, pembentukan provinsi Banten tertuang berdasarkan UU No. 23 Tahun 2000 tertanggal 17 Oktober tahun 2000.
Momentum sangat penting bagi masyarakat Banten saat itu adalah menjadikan Banten sebagai provinsi, sehingga seperti mengulang sejarah napak tilas kejayaan Banten pada masa lampau.
Akhirnya, masyarakat Banten pun sepakat tanggal 4 Oktober 2000 sebagai Hari Jadi Provinsi Banten, dan menetapkan Djoko Munandar sebagai Gubernur dan Ratu Atut Chosiyah sebagai wakil Gubernur Banten pertama dan menjadikan kota Serang menjadi ibukota provinsi Banten.