Jakarta, Bantentv.com – Dewan Pers dan seluruh komunitas pers menolak keras adanya rencara DPR RI merevisi Rancangan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang menuai kontroversi. Pasalnya, RUU Penyiaran tersebut dapat mengancam kemerdekaan pers khususnya soal larangan liputan investigasi. Bahkan dalam draft RUU itu sejumlah pasal dinilai berpotensi menghambat tugas jurnalistik.
Sebagaimana diketahui, dalam draf RUU Penyiaran terdapat sejumlah pasal yang dikritik karena berpotensi mengancam kebebasan pers. Pasal-pasal bermasalah dalam draf RUU Penyiaran, yakni Pasal 8A huruf q dan Pasal 50 B Ayat 2 huruf c. Draf RUU Penyiaran yang berisikan 14 BAB dengan jumlah total 149 Pasal.
Bahkan, pada pasal 8A huruf q memberikan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Padahal selama ini kewenangan tersebut merupakan tugas Dewan Pers yang mengacu pada Undang-Undang Pers.
Kemudian Pasal 50 B Ayat 2 huruf c mengatur larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Pasal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya monopoli penayangan eksklusif jurnalistik investigasi yang hanya dimiliki oleh satu media atau satu kelompok media saja
Ketua Dewan Pers Dr. Ninik Rahayu mengatakan, pada dasarnya Dewan Pers menghormati DPR maupun pemerintah yang memiliki kewenangan secara konstitusional menyusun sebuah regulasi.
“Terutama yang berkaitan dengan persoalan pemberitaan pers, baik melalui media cetak, elektronik dan lainnya,” ujarnya, di Kantor Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa 14 Mei 2024.
Menurutnya, RUU Penyiaran itu tidak mencerminkan pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk mendapat informasi sebagaimana dijamin dalam Undang Undang Dasar 1945. Karena RUU tidak mengintegrasikan kepentingan lahirnya jurnalistik yang berkualitas sebagai salah satu produk penyiaran.
“RUU penyiaran ini menjadi salah satu sebab pers kita tidak merdeka, tidak independen, dan tidak akan melahirkan karya jurnalistik berkualitas,” tegasnya.
Dalam jumpa pers itu turut dihadiri konstituen Dewan Pers seperti dari AJI, PWI, SPS, IJTI, SMSI, AMSI, JMSI, Pewarta Foto Indonesia (PFI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), dan PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Indonesia)
Sementara Ketua Umum PWI Hendry Ch Bangun mengungkapkan, kerja jurnalistik tidak boleh dibatasi dengan dalih apa pun. Karena pers bekerja untuk memenuhi hak masyarakat atas informasi yang benar. Larangan untuk menyiarkan konten ekslusif jurnalisme investigasi jelas berupaya menghambat tugas jurnalistik.
Selain itu, RUU Penyiaran ini juga dalam RUU berpotensi terjadinya tumpang tindih terhadap ketentuan yang mengatur mengenai pers dan penyiaran. Sehingga akan mengakibatkan terjadinya bentrok penyelesaian pengaduan yang akan membuat bingung masyarakat dan pelaku pers. Pasalnya, selama ini KPI hanya mengurusi isi siaran non berita. Dengan usulan UU Penyiaran baru ini, KPI punya kewenangan juga soal berita.
“Bahkan istilah penyiaran diperluas ke semua jenis siaran termasuk di medsos,” terangnya.
Senada dikatakan Ketua umum ATLI Bambang Santoso. Ia menagku berkeberatan dan menolak rancangan UU pers dan meminta untuk tidak dilanjutkan.
“Jika tidak melibatkan dewan pers dan komunitas pers dalam pembahasan revisi RUU Pers maka senayan akan berhadapan dengan komunitas pers,” katanya. (red)