Bantentv.com – Kasus yang menimpa dua guru SMAN 1 Luwu Utara, Sulawesi Selatan bermula saat Abdul Muis dan Rasnal, guru yang dipecat lantaran membantu guru non-ASN, yang tidak mendapatkan honornya, kini pelapor akhirnya angkat bicara.
Kasus ini bermula ketika LSM melaporkan adanya pungutan liar (pungli) di SMA Negeri 1 Luwu Utara tahun 2019 lalu.
Kala itu, Abdul Muis bersama Rasnal mengusulkan kepada Komite Sekolah agar orang tua murid patungan untuk pembayaran gaji 10 guru honorer. Guru non-ASN itu diketahui belum menerima gaji selama 10 bulan pada 2018 lalu.
Dalam pengakuannya Faisal menegaskan, bahwa laporannya ke polisi bermula dari adanya aduan seorang siswa bernama Feri yang menyebut adanya pungutan di sekolah.
Berdasarkan informasi tersebut, lalu ia melakukan konfirmasi langsung ke pihak sekolah.
“Kronologinya, atas nama Feri, siswa di sekolah itu konfirmasi ke saya bahwa di sekolahnya ada pungutan. Dari situ saya datangi Pak Muis dan menanyakan apakah benar ada pungutan. Tapi katanya itu sumbangan, bukan pungutan. Saya bilang, kalau sumbangan kenapa ada target Rp 20 ribu per siswa? Lalu dijawab, itu sudah kesepakatan orang tua,” ujar Faisal, Kamis 13 November dikutip dari Tribun Makassar.
Ia juga berpendapat, berdasarkan regulasi yang ia pahami, sekolah memperbolehkan menerima sumbangan, namun tidak dalam bentuk uang yang dipatok nominalnya. Hal itu juga diatur dalam Peremendikbud dan Undang-Undang.
“Setahu saya, kalau sumbangan itu boleh, tapi dalam bentuk barang, bukan uang dengan target tertentu,” katanya.
Berbekal informasi tersebut, Faisal kemudian mendatangi rumah Abdul Muis untuk mengklarifikasi. Namun, pertemuan itu justru berujung pada ketegangan.
“Saya datang baik-baik untuk klarifikasi, tapi malah ditantang. Katanya, kalau saya merasa ada pelanggaran, laporkan saja ke polisi. Ya sudah, saya buat laporan. Tujuan saya hanya untuk memastikan dugaan itu, bukan untuk menjatuhkan siapa pun,” ujar Faisal.
Faisal juga menegaskan bahwa dirinya sama sekali tidak terlibat dalam proses penyelidikan hingga putusan Mahkamah Agung. Ia bahkan tak lagi mengikuti kasus tersebut setelah membuat aduan masyarakat ke pihak kepolisian.
“Saya tidak ada campur tangan dalam penyelidikan, apalagi sampai ke putusan MA. Tapi sekarang saya justru seakan-akan diframing seolah saya yang bersalah. Padahal kapasitas saya hanya sebagai pelapor. Benar atau salahnya, biar pengadilan yang menentukan,” ucapnya.
Ia menilai, jika pengadilan telah menjatuhkan hukuman pidana terhadap ke dua guru tersebut (Rasnal dan Abdul Muis) selama satu tahun, maka laporan yang ia buat sudah melalui proses hukum yang sah.
“Saya melapor berdasarkan informasi yang saya dapatkan. Kalau akhirnya terbukti di pengadilan, berarti saya tidak salah. Kenapa saya yang disalahkan, sementara dua guru itu dianggap benar?” Tegas Faisal.
Diketahui Rasnal adalah pengajar di UPT SMAN 3 Luwu Utara, sementara Abdul Muis adalah guru honorer sekaligus Bendahara Komite UPT SMAN 1 Luwu Utara.
Dalam kasus tersebut, keduanya dikenakan pasal tindak pidana korupsi terkait pengelolaan dana non-BOS. Pengadilan Negeri Masamba pun memutus keduanya bersalah dan menjatuhkan hukuman pidana penjara (durasi bervariasi sekitar 1 tahun lebih) pada tahun 2021 lalu.
Selain dipidana, Abdul Muis dan Rasnal juga disanksi pemecatan tidak dengan hormat (PTDH) buntut pungutan Rp20 ribu yang dimintanya terhadap orang tua siswa dengan dalih membantu membayar gaji guru honorer.
“Kesepakatan itu dibuat oleh orang tua siswa bersama Ketua Komite Sekolah dalam rapat resmi yang diundang secara formal. Semua keputusan yang dihasilkan murni merupakan pertimbangan dari orang tua siswa,” kata Abdul Muis kepada wartawan, usai mengikuti RDP.
Berdasarkan situs resmi PN Makassar, keduanya sempat divonis bebas alias tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi di PN Makassar. Namun, putusan itu dianulir Mahkamah Agung (MA) pada tingkat kasasi yang mana keduanya dihukum pidana penjara selama 1 tahun dan denda sebesar Rp 50 juta.
Menanggapi putusan itu, Abdul Muis mengaku dituduh menerima gratifikasi. Dia pun membantah tudingan tersebut.
“Dalam kasasi, saya dituduh menerima gratifikasi, dengan alasan terdapat insentif dari tugas tambahan seperti wali kelas, pengelola laboratorium, dan wakil kepala sekolah. Padahal hal itu tidak pernah muncul dalam persidangan sebelumnya, dan dalam putusan juga tidak ada klausul yang menyebutkan bahwa saya harus dipecat,” jelasnya.
Dilaporkan hingga mendapat perhatian Presiden
Setelah kasusnya mencuat kembali, kini keduanya mendapatkan perhatian dari Presiden dan mendapatkan rehabilitasi atas kasusnya itu.
Mensesneg Prasetyo Hadi menjelaskan, rehabilitasi itu diberikan setelah pemerintah mendengar aspirasi dari masyarakat yang berjenjang lewat lembaga legislatif dari daerah ke pusat. Kemudian, Prasetyo meminta petunjuk presiden dan mengabulkan rehabilitasi tersebut.
“Kami selama satu minggu terakhir, berkoordinasi minta petunjuk kepada Bapak Presiden untuk memberikan rehabilitasi kepada kedua orang guru dari SMAN 1 ya, Luwu Utara,” ucap Prasetyo.
Dengan diterbitkannya surat rehabilitasi tersebut, pemerintah memulihkan nama baik, harkat, martabat, serta hak-hak kedua guru yang selama ini terimbas persoalan hukum.
“Bagaimanapun, guru adalah pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa harus kita hormati, juga harus kita lindungi bahwa ada masalah-masalah atau ada dinamika-dinamika kita cari mencari penyelesaian yang baik,” kata Prasetyo, dikutip dari kumparan.
“Saya kira itu yang dapat kami sampaikan. Semoga keputusan ini dapat memberikan rasa keadilan untuk guru yang kita hormati, dan juga kepada masyarakat tidak hanya di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, bahkan di seluruh Indonesia. Saya kira itu yang dapat saya sampaikan,” pungkasnya.
Editor : Erina Faiha