Rabu, Juni 18, 2025
BerandaBeritaInternasionalQRIS Bikin Kesal Amerika, Apa Alasannya?

QRIS Bikin Kesal Amerika, Apa Alasannya?

Serang, Bantentv.com – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump baru-baru ini menyoroti langkah yang diambil Indonesia dalam transaksi ekonomi berupa penggunaan QRIS yang sudah dilakukan beberapa tahun terakhir.

Permasalahan itu diungkap pemerintah Trump melalui dokumen Foreign Trade Barriers yang dikeluarkan United States Trade Representative (USTR) pada akhir Februari 2025.

Pada laporan tahunan 2025 National Trade Estimate (NTE) yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR), di mana Amerika Serikat (AS) mengkritik kebijakan Bank Indonesia (BI) terkait sistem pembayaran berbasis QR nasional atau Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS).

Dalam kritik tersebut, AS menilai arah kebijakan sistem pembayaran di Indonesia, termasuk pengembangan QRIS menunjukkan kecenderungan protektif dan semakin tertutup terhadap pelaku usaha global.

AS beralasan proses penyusunan kebijakan QRIS kurang keterlibatan pihak internasional, khususnya pelaku usaha asal Negeri Paman Sam. Hal ini yang menjadi kekesalan AS terhadap Indonesia dengan keberadaan QRIS dan GPN atau Gerbang Pembayaran Nasional.

Dalam laporannya, United States Trade Representative (USTR) menyebut bahwa ada kekhawatiran AS tentang sisterm kebijakan QR code yang dimiliki Indonesia, yang seharusnya melibatkan pihak internasional.

“Perusahaan-perusahaan asal AS khawatir karena tidak diberi informasi lebih awal mengenai perubahan kebijakan QR code, dan tidak dilibatkan dalam proses penyusunan sistem tersebut, termasuk dalam hal bagaimana sistem itu seharusnya bisa diintegrasikan dengan sistem pembayaran global yang sudah ada,” tulis USTR dalam dokumennya.

Diketahui QRIS diberlakukan melalui Peraturan BI Nomor 21 Tahun 2019 yang mewajibkan seluruh transaksi menggunakan QR code di Indonesia mengikuti standar nasional yang telah ditentukan. Sistem ini dibuat oleh Bank Indonesia yang bertujuan untuk menyatukan berbagai layanan pembayaran QR agar lebih efisien dan seragam secara nasional.

Namun, menurut USTR, kebijakan ini justru menyulitkan pelaku usaha asing karena tidak dirancang agar kompatibel dengan sistem pembayaran internasional.

Tak hanya itu, pembatasan kepemilikan asing di sektor jasa keuangan dan sistem pembayaran juga dinilai semakin ketat. Misalnya, kepemilikan asing di perusahaan pelaporan kredit swasta dibatasi maksimal 49 persen.

Kebijakan itu juga berlaku bagi perusahaan jasa pembayaran non bank atau perusahaan penyedia layanan di sisi pengguna (front-end), kepemilikan asing dibolehkan hingga 85 persen, tetapi hak suara dibatasi hanya sampai 49 persen.

Sementara itu, untuk perusahaan infrastruktur sistem pembayaran di sisi backend, kepemilikan asing dibatasi hanya 20 persen. Kebijakan ini dianggap membatasi ruang gerak investor asing untuk ikut bersaing dalam sektor keuangan digital Indonesia.

“Peraturan ini memberlakukan pembatasan kepemilikan asing sebesar 20 persen, serta melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi debit dan kartu kredit ritel domestik,” tulis USTR dalam dokumennya yang dikutip Selasa, 22 April 2025.

Bukan cuma QRIS, GPN ikut dikritisi

Tidak hanya QRIS, GPN atau Gerbang Pembayaran Nasional juga ikut dikritisi oleh USTR. Lantaran kebijakan yang diinisiasi oleh BI tersebut, mewajibkan seluruh transaksi kartu debit dan kredit ritel domestik diproses melalui National Payment Gateway atau Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).

Dalam kebijakan tersebut, Lembaga switching GPN harus berbasis di Indonesia dan memiliki lisensi dari BI. Perusahaan asing yang ingin ikut serta juga diwajibkan menjalin kemitraan dengan perusahaan lokal dan harus mendukung pengembangan industri dalam negeri, termasuk dengan melakukan transfer teknologi.

“Pelaku industri menyampaikan kekhawatirannya karena BI cenderung menetapkan peraturan baru tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan pihak-pihak terkait, termasuk dari luar negeri,” tulis USTR.

Laporan itu juga menyinggung kebijakan terbaru BI yang diberlakukan pada Mei 2023, yakni mewajibkan transaksi dengan kartu kredit pemerintah harus diproses melalui sistem GPN dan menggunakan kartu kredit lokal.

Kebijakan ini dianggap dapat semakin mempersempit penggunaan layanan pembayaran internasional, seperti Mastercard dan Visa khususnya dari perusahaan asal AS.

“Perusahaan pembayaran asal AS khawatir, kebijakan baru ini akan membatasi penggunaan layanan pembayaran elektronik dari Amerika di Indonesia,” terang USTR.

Penggunaan QRIS dan GPN di Indonesia yang kian masif inilah yang membuat Pemerintah Amerika Serikat melalui USTR berharap, Indonesia melalui Bank Indonesia (BI) lebih terbuka terhadap masukan dari pelaku industri internasional, guna menciptakan sistem pembayaran yang lebih terintegrasi dan kompetitif secara global.

Editor: Lilik HN

TERKAIT